Sabtu, 26 Mei 2012
Kisah Israiliyyat dalam Kitab Tafsir dan Hadits
Selasa, 22 Mei 2012
Wacana Tafsir
Ø Risalah Islam
a.
Islam Risalah Terakhir [Q.S. Al-Ahzab: 40]
Islam merupakan risalah terakhir yang diturunkan untuk manusia, ini
menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah nabi terkahir yang diutus kepada
umat manusia seluruhnya dan sebagai penutup para nabi. Sebagaimana firman Allah
SWT. Dalam surat Al-Ahzab: 40:
مَاكَانَ
مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيّنَۗ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمًا
(الأحزب: ٤٠)
Artinya: “Muhammad itu bukanlah ayah dari seorang kamu, akan tetapi
dia adalah Rasul Allah dan penutup sekalian nabi, dan Allah itu Maha Mengetahui
akan segala sesuatu.”
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, dalam buku tafsirnya yang berjudul
Tafsir Al-Qur’anul Majid juz ke-4. Manafsirkan “maa kaana muhammadun abaa
ahadinm mir rijaalikum walaakir rasuulallaahi wa khataman nabiyyiina”,
Muhammad itu bukanlah ayah dari seseorang dari kamu, akan tetapi dia adalah
Rasul Allah dan penutup seklian Nabi. Engkau adalah ayah dari ummat engkau
dalam arti penghormatan dan kemuliaan dan dalam sifat kasih sayang sebagaimana
Rasul-rasul yang lain terhadap ummatnya. Ringkasnya, bukanlah Muhammad itu ayah
bagi ummatnya dalam arti haram beliau mengawini bekas istri seseorangpun
ummatnya, tetapi beliau itu adalah ayah bagi segala orang mukmin[1].
Sedangkan Al-Maragi dalam terjemahan kitab tafsirnya yang berjudul
Terjemah Tafsir Al-Maragi, menafsirkan “maa kaana muhammadun abaa ahadinm
mir rijaalikum walaakir rasuulallaahi wa khataman nabiyyiina”, dengan
“tidak sepatutnya kamu takut kepada seseorang pun dengan mengawini seseorang
wanita bekas istri anak angkatmu, bukan anak kandungmu. Karena kamu bukanlah
bapak dari seorangpun, tetapi kamu adalah Rasulullah dalam menyampaikan
risalah-Nya kepada makhluk-Nya. Kamu adalah bapak dari setiap warga ummat,
dalam arti mereka harus menghormati dan memuliakan kamu, sedang kamu wajib
belas kasih kepada mereka, karena mereka memang demikianlah kebiasaan setiap
rasul terhadap ummatnya[2].
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad itu bukan ayah
bagi seseorangpun akan tetapi ayah bagi ummatnya yang mukmin dalam arti
penghormatan dan kemuliaan dan dalam sifat kasih sayang sebagaimana Rasul-rasul
yang lain terhadap ummatnya, dan merupakan pembawa risalah dan penutup
nabi-nabi. jadi tidak ada larangan bagi beliau untuk mengawini bekas istri anak
angkatnya dikarenakan bukan anak kandung beliau.
Nabi Muhammad merupakan pembawa risalah yang diterima dari
Tuhan-Nya dan disampaiakan kepada seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. Al- Jin: 23.
إِلَّا بَلٰغًا
مِّنَ اللهِ وَرِسٰلٰتِهٖۗ.... (الجن: ٢٣)
Artinya: “Aku tidak memiliki apa-apa terkecuali menyampaikan
keterangan-keterangan dari Allah dan risalah-risalah-Nya….” (Q.S. Al-Jin:
23)
b.
Kevakuman Risalah di Era Kontemporer (Allah Tidak akan Mengazab suatu Kaum Sampai
Dia mengutus Seorang Rasul dari Kaum Mereka) [Q.S. Al-Isra: 15]
Allah mengutus para rasul-Nya untuk
menyampaikan wahyu Allah kepada manusia, agar manusia berada di jalan yang
lurus. Namun, orang-orang kafir tetap saja dalam kesesatan mereka, sehingga
Allah memberikan azab kepada mereka karena keingkaran mereka terhadap
rasul-rasul itu. Dan tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk membantah, karena
Allah telah mengutus rasul-rasul kepada mereka, Sebagaiman firman Allah dalam
surat Al-Isra: 15.
مَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ
فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ وَمَا
كُنَّا مُعَذِبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
(الاسرا:١٥)
Artinya: “Barang siapa mendapat petunjuk, maka sesungguhnya ia
mendapat petunjuk untuk dirinya, dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya
kesesatannya itu atas dirnya pula. Dan seorang yang berdosa tidak memikul dosa
orang lain dan tidaklah Kami mengazab suatu kaum hingga Kami utuskan seorang
rasul.” (Q.S. Al-Isra: 15)
Ash-Shiddiqy,
menafsirkan “Wa maa kunnaa mu’adzabina hattaa nab’atsa rasulaa”, Dan
tidak akan Kami binasakan suatu ummat, kecuali jika sudah Kami utuskan kepada
mereka rasul-rasul Kami dan mengemukakan tanda-tanda kekuasaan Kami. Kata Imam
Al-Ghazali: “Sesudah Muhammad dibangkitkan ada tiga golongan manusia: pertama,
mereka yang tidak sampai kepadanya dakwah Nabi dan sama sekali tidak pernah
mendengar tentang diri Nabi. Mereka itu pasti masuk ke surga. Kedua, mereka
yang sampai kepadanya dakwah Nabi dan melihat mukjizat-mukjizat Nabi, tetapi
mereka mengingkarinya, sebagai keadaan orang kafir masa kini, mereka pasti
masuk ke neraka. Ketiga, mereka yang sampai kepadanya dakwah Nabi dan mendengar
tentang keadaan diri Nabi, tetapi menurut gambaran dari orang-orang yang hendak
menyesatkan, mereka diharamkan memperoleh surga.[3]
Dalam buku terjemah
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, tafsir “Wa maa kunnaa mu’adzabina hattaa
nab’atsa rasulaa”, “merupakan pemberitahuan ihwal keadilan Allah Ta’ala;
bahwasanya Dia tidak akan mengazab seseorang pun kecuali setelah ditegakkannya
hujjah melalui pengutusan rasul. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala, “Setiap
kali dilemparkan sekumpulan orang kafir, penjaga-penjaga bertanya kepada
mereka, ‘apakah belum pernah datang kepada kamu seorang pemberi peringatan ?’
Mereka menjawab, ‘Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang
pemberi peringatan, maka kami mendustakan dan kami katakan, ‘Allah tidak
menurunkan apapun.’ Kamu tidak lain dalam kesesatan yang nyata[4].”
Kemudian,
apabila Allah tidak mengutus seorang rasul kepada orang-orang kafir, maka
orang-orang kafir ketika mereka dilemparkan ke dalam neraka niscaya mereka akan
menolaknya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Thaha: 134.
وَلَوْ اَنَّآ اَهْلَكْنٰهُمْ بِعَذَابٍ مِّنْ قَبْلِهٖ لَقَالُوْا
رَبَّنَا لَوْلآَ اَرْسَلْتَ اِلَيْنَا رَسُوْلاً فَنَتَّبِعَ اٰيٰتِكَ مِنْ
قَبْلِ اَنَّذِلَّ وَنَخْزٰى.
(طه: ١٣٤)
Artinya: “Dan sekiranya Kami membinasakan mereka dengan sesuatu
azab sebelumnya (rasul), tentulah mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, mengapakah
tiada Engkau utus kepada kami seseorang rasul, lalu kami ikuti ayat-ayat Engkau
sebelum kami mendapatkan kehinaan dan keaiban.” (Q.S. Thaha: 134)
Ash-Shiddiqy
menafsirkan, ‘Sekiranya Kami membinasakan mereka yang mendustakan kebenaran itu
dengan suatu azab yang memusnahkan mereka sebelum kami utuskan Muhammad rasul
yang mulia ini dan sebelum kami turunkan Al-Qur’an ini, tentulah mereka
berkata: “Wahai Tuhan kami, mengapakah Engkau tiada mengutuskan kepada kami
seorang rasul sebelum Engkau membinasakan kami, agar dapatlah kami mengimaninya
dan mengikutinya.[5]
Itulah gambaran
Allah tentang orang-orang yang mendustakan rasul-Nya, mereka dibinasakan oleh
Allah dan tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk menolak azab karena Allah SWT
telah mengutus kepada mereka seorang rasul yang membawa risalah dari-Nya.
c.
Pendapat Bahwa Akal Adalah “Rasul” Internal (Manusia dapat
Mengetahui Baik dan Buruk Secara mandiri Tanpa Harus Melalui Risalah dan Wahyu)
Mengenai wacana tentang Manusia dapat mengetahui baik dan buruk tanpa melalui risalah adalah
pendapat Muhammad Abduh. Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar
kepada akal. Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1)
Tuhan
dan sifat-sifat-Nya;
2)
Keberadaan
hidup di akhirat;
3)
Kebahagiaan
jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik,
sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan
melakukan perbuatan jahat;
4)
Kewajiban
manusia mengenal Tuhan;
5)
Kewajiban
manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di
akhirat;
6)
Hukum-hukum
mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Menurut Abduh, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia
pergunakan untukmenjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya,
menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat;
mengatur kehidupan masyarakat atas dasar-dasar prinsip umum yang dibawanya;
menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan
mengetahui cara beribadah dan berterima kasih kepada Tuhan.[6]
Jadi menurut Muhammad Abduh, akal bisa mengetahui Tuhan dan
sifat-sifat-Nya dan wahyu sebagai penolong dan penyempurna akal dalam
mengetahui Tuhan dan hal-hal yang ghaib.
Ø Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan
Manusia Sebagai Makhluk Spritual/Religius di Tengah Pluralitas Agama
·
Nilai-nilai
Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an
Islam sangat menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai kemasyarakatan.
Dalam kehidupan bermasyarakat kita harus saling menghargai, mennghormati dan
meniadakan perbedaan-perbedaan di antara sesama anggota masyrakat. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-hujurat ayat 11:
يَآَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْ لاَيَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى
اَنْ يَكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ فَوَرُبَّ اَشْعَثَ اَغْبَرَ ذِيْ طِمْرَيْنِ
لاَيُؤَبَّهُ لَهُ لَوْ اَقْسَمَ عَلَى اللهِ تَعَالَى لَأَبَرَّهُ وَلاَ نِسَآءٌ
مِّنْ نِسَآءٍ عَسٰٓ اَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلاَتَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ
بِئْسَى اْلاِسْمُ اْلفُسُوْقُ بَعْدَ اْلاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَاُولٰٓئِكَ
هُمُ الظّٰالِمُوْنَ.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum
menolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolokkan)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula
perempuan-perempuan (mengolok-olokkan perempuan) yang lain, (karena) boleh jadi
perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan yang
mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah
saling memanggil dengan gelaran-gelaran yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Q.S. Al-hujurat:
11)
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy menafsirkan “Yaa ayyuhal ladziina
aamanuu laa yaskhar qaumum min qaumin”, ‘hai orang-orang yang telah beriman!
Janganlah suatu golongan menghina segolongan yang lain, baik dengan membeberkan
keaiban golongan-golongan itu dengan mengejek, atau dengan cara menghina, baik
dengan perkataan, atau pun dengan isyarat atau dengan menertawakan orang yang
dihina itu bila timbul sesuatu kesalahan. “’Asaa anyakuunuu khairan minhum”
ditafsirkan dengan ‘Karena boleh jadi orang yang dihinakan itu lebih baik di
sisi Allah daripada orang yang manghinanya’.
Kemudian “walaa nisaaun min nisaain ‘asaa ayyakunna khairam minhunna”
ditafsirkan dengan ‘Janganlah pula segolongan wanita menghina dan mengejek
golongan wanita lain, karena kerap kali yang dihina itu lebih baik di sisi
Allah’. Selanjutnya “walaa talmizuu anfusakum walaa tanaabazuu bil alqaabi”
dengan ‘memberi pengertian bahwa mwncela orang lain sama dengan mencela diri
sendiri. Hal ini bahwa sekalian mukmin itu dipandang satu tubuh, yang apabila
sakit salah satu anggotanya, maka seluruh tubuhnya merasa sakit pula. Dan janganlah kamu saling memanggil mereka
dengan gelaran yang mengandung ejekan, jangnlah sebagian kamu memanggil
sebagian yang lain dengan gelaran-gelaran buruk,umpamanya: “Hai munafik! Hai
fasik! Atau dia mengatakan kepada orang-orang yang telah memeluk Islam: Hai Yahudi,
hai Nashrani!’. Dan “Bi’sal ismal
fusuuqu ba’dal iimaan, wa man lam yatub fa ulaaika humudz dzaalimuun” dengan,
‘Sejahat-jahat sebutan sesudah beriman ialah gelaran fasiq’. Semua
ulamaberpendapat bahwa haram kita memanggil seseorang dengan gelaran yang tidak
ia senangi, baik sifatnya sendiri atau orang tuanya, atau pun sifat
keluarganya.[7]
Di dalam ayat ini Allah menegaskan kepada orang-orang yang telah
beriman agar tidak mengejek dan menghina yang lainnya, baik dengan cara
menertawakannya atau pun dengan isyarat yang ini bisa mengganggu orang lain.
Sebagai orang yang beriman kita harus menjaga hubungan yang baik dengan
orang-orang yang beriman lainnya. Karena boleh jadi orang yang diejek itu lebih
baik dari yang mengejeknya,. Sebagaimana Nabi berkataa: “Banyak sekali orang
yang berpakaian compang-camping, akan tetapi bila mereka bersumpah dengan nama
Allah, Allah memenuhi sumpahnya itu.” Ini menunjukkan bahwa mereka itu lebih
baik sehingga Allah memenuhi sumpah mereka.
SUMBER BACAAN
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy. 1995. Tafsir
Al-Qur’anul Majid AN Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putra Semarang
Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly dan
Anshori Umar Sitanggal. 1987. Terjemah Tafsir Al-Maragi (Ahmad Mustafa
Al Maragi. 1394 H/1974 M. Tafsir Al Maragi. Mesir: Mustafa Al-Babi
Al-Halabi). Semarang: Toha Putra Semarang
Syihabuddin. 1999. Kemudahan dari
Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Muhammad Nasib Ar-Rifa’I. 1410. Taisiru
al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu katsir Jilid 3. Riyadh: Maktabah
Ma’arif). Jakarta: Gema Insani Press
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, 2001,
Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
[1] Muhammad
Hasbi Ash-Shiddiqy, 1995, Tafsir Al-Qur’anul Majid AN Nur, Semarang:
Pustaka Rizki Putra Semarang, cet.II, Jakarta: Rizky Grafis, juz 4, hal. 3184.
[2] Bahrun
Abu Bakar, Hery Noer Aly dan Anshori Umar Sitanggal, 1987, Terjemah Tafsir
Al-Maragi (Ahmad Mustafa Al Maragi, 1394
H/1974M, Tafsir Al Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi),
Semarang: Toha Putra Semarang, cet. I, hal.26.
[3]
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy. Op. cit. juz 3, hal. 2236.
[4]
Syihabuddin, 1999, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Muhammad
Nasib Ar-Rifa’I, 1410, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu
katsir, Jilid 3, Riyadh: Maktabah Ma’arif), Jakarta: Gema Insani Press,
hal. 34-36.
[5]
Ibid, hal. 2500.
[6]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, 2001, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,
hal. 213-214.
[7] Muhammad
Hasbi Ash-Shiddiqy, Lok. Cit.
Langganan:
Postingan (Atom)