English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified
Tafsir Qur'an: Kisah Israiliyyat dalam Kitab Tafsir dan Hadits
Semoga informasi ini bermanfaat bagi Anda and jangan lupa untuk datang lagi

Sabtu, 26 Mei 2012

Kisah Israiliyyat dalam Kitab Tafsir dan Hadits

Read more: http://dharma-bali.blogspot.com/2012/10/memasang-star-rating-pada-posting.html#ixzz2CeNFrtpM

Israiliyat dalam Kitab Tafsir
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa Israilliyat adalah kisah-kisah terdahulu yang masuk ke dalam Tafsir melalui Ahli Kitab yang telah masuk Islam karena adanya kesesuaian antara kisah-kisah yang ada di dalam Kitab-kitab Samawi dengan Kitab Suci Al-Qur’an.
Yang harus kita sesali dari pertumbuhan tafsir, ialah sebagian tabi’in yang sangat besar perhatiannya kepada Israiliyyat. Para mufasir itu sangat berbaik sangka kepada segala pemberita yang menyampaikan kabar. Mereka beranggapan bahwa orang yang sudah masuk Islam, tentu tidak mau berdusta. Inilah sebabnya para mufasir diketika itu tidak mengoreksi dan memeriksa lagi kabar-kabar yang mereka terima. Pemuka-pemuka riwayat yang mempunyai Israiliyyat ialah Wahab Ibn Munabbih, seorang Yahudi dari Yaman yang memeluk Islam. Dia banyak meriwayatkan Israiliyyat seperti dijumpai dalam tafsir Ibn Jarir At-Thabary (tafsir Jami’ul Bayan). Oleh karena sebagian tabi’in banyak menerima Israiliyyat dan memasukkannya ke dalam bidang tafsir, maka Malik Ibn Anas menolak riwayat Qatadah, lantaran Qatadah banyak meriwayatkan Israiliyyat.[1]
Mengenai Wahab Ibn Munabbih, para ulama berbeda pendapat dalam mengenai keadilan dan dan kejujurannya. Rasyid Ridha meragukan kejujuran dan keadilannya sebagaimana dia meragukan Ka’ab Al-Akhbar.Tetapi Abu Anwar mengatakan bahwa Rasyid Ridha tidak mempunyai alasan yang kuat. Karena hanya Ibnu Taimiyah sendiri, yang dijadikan alasan oleh Rasyid Ridha, dalam bukunya “Al-Jawabu Al-Shahih Liman Baddala Dni Al-Masihiyah” yang dikutip oleh Nurcholis Madjid, dia (Rasyid Ridha) mengatakan bahwa sesungguhnya sebagian besar yang terdapat di dalam Kitab Suci agama Kristen itu benar.[2]
Ini bermula sejak masa sahabat, di mana ketika menemukan sebuah kisah dari al-Qur’an yang bersifat global, mereka menanyakan rinciannya kepada ahli kitab yang telah masuk Islam. Kitab-kitab Samawi memiliki kecocokan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya, bedanya terletak pada ringkas dan rincinya. Namun sahabat menjaga diri mengenai hal itu. Mereka tidak menanyakan kepada Ahli Kitab kecuali mengenai penjelasan yang mubham dan mujmal, yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW. Mereke juga tidak menyibukkan diri bertanya mengenai hal-hal remeh yang lebih mirip dengan bermain-main, misalnya pertanyaan tentang warna anjing Ashhabul Kahfi, jenis semut yang diajak bicara oleh Nabi Sulaiman, bocah yang dibunuh oleh Khidir dan lain-lain. Mereka   terlalu tinggi dan mulia menanyakan hal-hal seperti itu, sehingga mereka tidak melanggar metode yang diperintahkan dan digariskan olah Rasul SAW melalui hadits beliau: “Sampaikan dariku walau satu ayat. Ceritakanlah dari Bani Isra’il dan tidak mengapa. Siapa yang mendustakan secara sengaja, maka hendaklah ia bersiap-siap menempatkan diri di neraka.” (HR. Bukhari). Juga sabda beliau: “Jangan benarkan dan jangan dustakan Ahli Kitab. Katakan kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq dan Ya’qub. (QS. Al-BAqarah: 136).” (HR. Bukhari).[3]
Bila hadits pertama membolehkan meriwayatkan dari Bani Isra’il dan yang kedua menganjurkan menahan diri, maka pada hakekatnya tidak ada perbedaan di antara keduanya. Sebab yang pertama berkaitan dengan apa yang diketahui benarnya dan yang mengandung pelajaran dan nasehat. Sedang hadits  kedua berkenaan  dengan apa yang tidak diketahui secara pasti kebenarannya—misalnya karena tidak ada penjelasan dari syari’at kita—dan tidak diketahui secara pasti kedustaannya—misalnya karena tidak ada penjelasan syari’at kita yang berlawanan dengannya, maka kita harus menahan diri (tawaqquf) dari membenarkan maupun mendustakan mereka. Hal itu tidak lain karena riwayat seperti itu mungkin benar, mungkin juga salah.[4]
Al-Hafidh ibn Katsir mengatakan bahwa sebagian besar tafsir bil ma’tsur telah masuk ke para periwayat melalui orang-orang zindik dari Kaum Yahudi, Persi dan Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Sebagian ulama berkata, umumnya hal itu berkenaan dengan kisah-kisah para rasul beserta kerabat mereka, hal-hal berkenaan dengan kitab-kitab dan kemukjizatan mereka, sejarah selain mereka, seperti Ashabul Kahfi, kota Irama Dzat al-Imad, sihir Babil, masalah-masalah ghaib, seperti tanda dan datangnya kiamat, apa yang terjadi saat itu dan sesudahnya .[5]
Seperti keterangan-keterangan di atas, pada masa tabi’inlah beredarnya kisah-kisah Israiliyyat, sehingga tidak jarang Israiliyyat mewarnai kitab-kitab tafsir pada masa itu. Terlebih lagi Tafsir bil Ma’tsur, karena banyak dari para mufasir meriwayatkan berita-berita yang sebagian bersumber dari para Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Juga para mufasir menerimanya begitu saja, tidak memilah mana yang benar dan mana yang salah.  
Kemudian di samping itu, terdapat pula segolongan mufasir mutaakhirin yang mendasarkan tafsirnya kepada atsar, dengan mengikhtisarkan pula sanad, tidak menyandarkan riwayat kepada perawinya. Karena itu, bercampurlah kisah yang benar dengan yang palsu dan penuhlah tafsir dengan kisah-kisah dan israiliyyat. Di dalam tafsir-tafsir yang demikian itu diterangkan kisah nabi-nabi sebagai yang didapati di dalam Israiliyyat, demikian pula keadaan kejadian alam dan so’al Ya’juj dan Ma’juj. Di antara tafsir yang sedemikian keadaannya, ialah tafsir Al-Khazin.[6]

Contoh Kitab Tafsir yang Memuat Kitab Israiliyyat
  Jamiiul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
Tafsir ini disusun oleh Ibnu Jarir Al-Thabariy (224-310), seorang yang dikenal faqih, mufassir, dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Disebut-sebut sebagai Tafsir yang paling unggul dalam tafsir bil-Ma’tsur. Paling shahih dan terkumpul di dalamnya pernyataan para sahabat dan tabi’in. Tafsir ini dianggap sebagai referensi utama para mufassir. Bahkan sampai Imam An-Nawawi berkata, “Kitab Ibnu jarir dalam tafsir tidak ada duanya.”
Bagi sebagian kalangan, dalam tafsir ini terdapat beberapa riwayat Israiliyyat dan ini dianggap kesalahan. Riwayat itu banyak berasal dari Ka’ab Al-Ahbar, Wahhab bin Munabbih, Ibnu Juraij, As-Sudi dan lain-lain.

Salah satu contoh beliau menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 94:

“Mereka berkata: Hai Zulkarnain, ya’juj dan ma’juj itu perusak di muka bumi.”

Ibnu Jarir Al-Thabariy menyebutkan riwayat dengan isnad yang menyatakan: “Telah menceritakan kepada kami Humaid”; ia berkata:”telah menceritakan kepada kami salamah” ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, yang berkata, “Telah menceritakan kepada kami salah seorang ahli kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan kisah-kisah asing:“dari warisan-warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Zulkarnain termasuk salah seorang penduduk Mesir. Nama lengkapnya Mirzaban bin Murdhiyah, bangsa Yunani keturunan Yunan bin Yafits bin Nuh dan seterusnya.”
Oleh para muhaqqiq seharusnya Ibnu jarir tidak menukil riwayat-riwayat yang belum jelas kesahihannya berkenaan dengan Israiliyyat. Namun, bagaimanapun juga beliau selalu menulis lengkap sanad-sanad riwayat yang dinukilnya.

Tafsir Muqatil
Disusun oleh Muqatil bin Sulaiman wafat tahun 150 H. Dikenal sebagai ahli tafsir. Beliau banyak mengambil hadis dari Mujahid, Atha bin Rabah. Dhahak, dan Atiyyah.
Tafsir karya Muqatil terkenal sebagai tafsir yang satrat dengan cerita-cerita Israiliyyat tanpa memberi sanad sama sekali. Disamping itu tidak ditemukan komentar penelitian dan penjelasannya, mana yang hak dan yang batil. Contoh yang diceritakan dalam tafsir ini hampir merupakan bagian dari khurafat.

Tafsir Al-Quranul Adzim
Kitab tafsir buah karya Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir  (700-774 H) ini adalah kitab yang paling masyhur dalam bidangnya. Kedudukannya berada pada posisi kedua setelah Tafsir Ibnu Jarir At-Thabari. Nama aslinya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Tafsir yang diterima di khalayak ramai umat Islam.
Beliau menempuh metode tafsir bil ma’tsur dan benar-benar berpegang padanya. Ini diungkapkan sendiri oleh beliau dalam muqaddimah tafsirnya,: “Bila ada yang bertanya, apa metode penafsiran yang terbaik? Jawabannya, metode terbaik ialah dengan menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sesuatu yang global di sebuah ayat diperjelas di ayat lain. Bila engkau tidak menemukan penafsiran ayat itu, carilah di As-Sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I menegaskan bahwa semua yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, itulah hasil pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan kebenaran, agar engkau memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu.” (QS. An-Nisa’ 105) dan Rasul saw bersabda: sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan bersamanya yang semisal (As-sunnah).
Murid Imam Ibnu Taimiyah ini menafsirkan dengan menyertakan ilmu al-Jarh wa at-ta’dil. Hadis-hadis mungkar dan dlo’if beliau tolak. Terlebih dahulu beliau menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan ringkas. Kemudian disertakan pula ayat-ayat lainnya sebagai syahidnya. Beberapa ulama setelah beliau telah mengambil inisiatif menulisnya dalam bentuk mukhtasar (ringkasan). Bahkan hingga saat ini.
Di dalam tafsir ini juga menurut DR. Al-Zhahabi, tafsir ini populer dengan Israiliyyat dan disertai penjelasan dan komentar, hanya sedikit saja yang tidak dikomentari. Berbeda dengan Ibnu jarir, Ibnu Katsir selalu mengingatkan para pembaca agar mewaspadai keganjilan dan kemungkaran kisah-kisah Israiliyyat dalam tafsir bil-Ma’tsur.

Contoh saat menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 6:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyembelih sapi betina...”

Dalam tafsirnya, Ibnu katsir menceritakannya panjang lebar sampai hal aneh dengan menceritakan bahwa mereka mencari sapi betina khusus dan berada pada seorang Bani Israil yang paling berbakti..” setelah menceritakan hal tersebut beserta asal-usul riwayatnya, ia menjelaskan bahwa semua itu berasal dari kitab-kitab bani Israil yang boleh diriwayatkan tapi tidak boleh dibenarkan atau didustakan.http://nuaimy.org/index.php?option=com_content&view=article&id=177:dampak-israiliyyat-dalam-penafsiran-al-quran&catid=30:tafsir-dan-hadits

Israiliyat dalam Kitab Hadits
Pernyataan Ahli Kitab  menyusup di kalangan ulama hadits melalui para pemalsu hadits dan para pendusta, yang hendak menyebarkan apa yang ada pada mereka dengan menisbatkan kepada Rasulullah SAW. Karena itu kita sering menjumpai hadits palsu yang berisi kisah-kisah Yahudi maupun Nashrani, ataupun pernyataan-pernyataan yang ada di dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang tidak layak dikatakan sebagai sabda Nabi SAW. Kadang-kadang ada di antaranya yang menyusup melalui Ahlul Kitab yang telah masuk Islam. Mulanya, mereka memandang kaum muslimin berdasarkan kitab-kitab mereka, bahkan mereka menjelaskan kitab-kitab mereka itu kepada kaum muslimin. Hal itulah yang kemudian banyak masuk melalui para periwayat yang lengah atau para pemalsu hadits ke dalam hadits-hadits Nabi SAW. Ada yang menjelaskan bahwa anak nabi Ibrahim yang disembelih adalah Ishaq bukan Isma’il. Ada juga yang menjelaskan bahwa dunia ini terbatas umurnya, dan dapat diketahui batasnya,  yaitu tujuh ribu tahun. Keduanya jelas merupakan kisah versi ahli kitab.[7]

Contoh Israiliyat dalam Hadits
Para periwayat, dengan sanad-sanad mereka yang muttashil, meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi SAW, para sahabat dan para tabi’in berkenaan dengan unsur peradaban baru yang berasal dari Ahlul Kitab, melalui mereka yang kemudian masuk Islam, seperti Ka’ab Ibn Mati’ al-Humairy, Wahb ibn Munabbih, dan lain-lain. Dan mereka  inilah yang banyak meriwayatkan kisah sepeerti itu (Israilliyat). Karena itu, tidak aneh, bila suatu saat terjadi kekaburan pada diri periwayat. Bisa jadi, ia meriwayatkan hadits yang sebenarnya marfu’ (sampai kepada Nabi SAW) tetapi disandarkan kepada ka’ab atau sebaliknya, hadits yang sebenarnya hanya sampai kepada ka’ab, dikatakan berasal dari Nabi SAW.[8]
Banyak riwayat, yang periwayatnya mengalami kekeliruan seperti itu. Di antara  riwayat seperti itu, ada yang bisa kita temukan di dalam kitab-kitab Sunan, ada pula yang di lainnya. Pertama, pada Kitab Sunnan Abu Daud, Imam Abi Daud meriwayatkan sebuah hadits, dari Muhammad ibn Isa, dari Hammad, dari Maimun ibn Jabban, dari Abi Rafi’, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Belalang termasuk binatang laut.” Di samping itu Abu Daud dan at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu al-Hazim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya (belalang) itu termasuk binatang laut.” Abu Daud mengomentari kedua hadits itu: “Abu al-Hazm adalah periwayat dhai’f. Kedua hadits itu lemah. Ada lagi hadits yang semakna, yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Khatib, dari Anas dan Jabir sekaligus, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya belalang adalah ingus ikan laut.” “Ibn Hajar berkata: “Sanad hadits itu lemah”. As-Suyuthi di dalam Jami’ al-Shigar juga menyinggung ke-dha’if-an hadits itu. Bahkan Ibn al-Jauziy memasukannya di dalam kitabnya, al-Maudhu’at.[9]
Kemungkinan, yang benar adalah informasi mengenai belalang merupakan ingus ikan laut atau termasuk binatang laut, sama sekali tidak benar berasal dari Nabi, Hadits itu sebenarnya bersember dari Abu Hurairah, dari Ka’b al-Akhbar. Tetapi ada periwayat yang melakukan kesalahan, sehingga ia menjadikan hadits itu berasal dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Hal ini tidak mustahil terjadi pada diri periwayat  yang memang meriwayatkan banyak hadits dari barbagai sumber. Karena begitu seringnya ia merangkai sanad: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW….”, maka ketika ia mendengar perkataan “dari Abu Hurairah….”, spontan ingatannya akan tertuju pada perkataan “dari Nabi SAW…”, tanpa menyadarinya, bahwa yang betul adalah dari Abu Hurairah dari Ka’ab.[10]
Kenyataannya, Abu Daud telah meriwayatkan hadits itu dengan sanad yang benar, berasal dari Musa ibn Isma’il, dari Hammad, dari Maimun Ibn Habban, dari Abi Rafi’, dari Ka’ab, ia berkata: “Belalang termasuk binatang laut.” Kita lihat bahwa sanad itu berasal dari Hammad, dari Maimun ibn Jabban. Dari Abi Rafi’, pada satu sanad, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, dan pada sanad lain, dari Ka’b. Karena sanad itu, pada tiga periwayat berturut-turut sama, maka kita tidak bisa membenarkan penisbatan kedua riwayat itu. Yang benar, hanya penisbatan kepada salah satu saja, kepada Rasul, atau kepada ka’ab al-Akhbar. Abu daud cenderung memilih yang kedua, karena ia menilai yang pertama sebagai riwayat dla’if. Untuk menentukan, siapa sebenarnya periwayat yang melakukan kekeliruan, al-Dzahabi menilai bahwa Maimun Ibn Jabanlah orangnya.[11]


[1] Hasbi Ash-Shidiqiy, 1980, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VIII, hal.236.
[2] Abu Anwar,2005, Ulumul Qur’an sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah, Cet. II, hal. 114-115.
[3] Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, 2007, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir (Yunus Hasan Abidu, 1428, Dirasaat  wa Mahabits fi Tarikh Al-Tafsir wa Manahij Al-Mufassirin, Beirut, Libanon: Daar al-Fikr), Tangerang: Gaya Media Pratama, Cet. 1, hal. 61-62.
[4] Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Op. Cit, hal. 62.
[5] Ibid, hal. 63
[6] Hasbi Ash-Shidiqiy, Op. Cit., hal. 244.
[7] M. Qadirun Nur, 2004, Kritik Metodologi Matan Hadits (Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi), Tangerang: Gaya Media Pratama, cet. I, hal.44.
[8] Ibid, hal. 69.
[9] M. Qadirun Nur, Op. Cit., hal. 96-70.
[13] Ibid, hal. 70.
[10] Ibid,
[11] Ibid,
Read more: http://dharma-bali.blogspot.com/2012/10/memasang-star-rating-pada-posting.html#ixzz2CeNFrtpM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://dharma-bali.blogspot.com/2012/10/memasang-star-rating-pada-posting.html#ixzz2CeOtULfM