Israiliyat dalam Kitab Tafsir
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa Israilliyat adalah
kisah-kisah terdahulu yang masuk ke dalam Tafsir melalui Ahli Kitab yang telah
masuk Islam karena adanya kesesuaian antara kisah-kisah yang ada di dalam
Kitab-kitab Samawi dengan Kitab Suci Al-Qur’an.
Yang harus kita sesali dari pertumbuhan tafsir, ialah sebagian
tabi’in yang sangat besar perhatiannya kepada Israiliyyat. Para mufasir itu
sangat berbaik sangka kepada segala pemberita yang menyampaikan kabar. Mereka
beranggapan bahwa orang yang sudah masuk Islam, tentu tidak mau berdusta.
Inilah sebabnya para mufasir diketika itu tidak mengoreksi dan memeriksa lagi
kabar-kabar yang mereka terima. Pemuka-pemuka riwayat yang mempunyai
Israiliyyat ialah Wahab Ibn Munabbih, seorang Yahudi dari Yaman yang memeluk
Islam. Dia banyak meriwayatkan Israiliyyat seperti dijumpai dalam tafsir Ibn Jarir
At-Thabary (tafsir Jami’ul Bayan). Oleh karena sebagian tabi’in banyak menerima
Israiliyyat dan memasukkannya ke dalam bidang tafsir, maka Malik Ibn Anas
menolak riwayat Qatadah, lantaran Qatadah banyak meriwayatkan Israiliyyat.[1]
Mengenai Wahab Ibn Munabbih, para ulama berbeda pendapat dalam
mengenai keadilan dan dan kejujurannya. Rasyid Ridha meragukan kejujuran dan
keadilannya sebagaimana dia meragukan Ka’ab Al-Akhbar.Tetapi Abu Anwar
mengatakan bahwa Rasyid Ridha tidak mempunyai alasan yang kuat. Karena hanya
Ibnu Taimiyah sendiri, yang dijadikan alasan oleh Rasyid Ridha, dalam bukunya “Al-Jawabu
Al-Shahih Liman Baddala Dni Al-Masihiyah” yang dikutip oleh Nurcholis
Madjid, dia (Rasyid Ridha) mengatakan bahwa sesungguhnya sebagian besar yang
terdapat di dalam Kitab Suci agama Kristen itu benar.[2]
Ini bermula sejak masa sahabat, di mana ketika menemukan sebuah
kisah dari al-Qur’an yang bersifat global, mereka menanyakan rinciannya kepada
ahli kitab yang telah masuk Islam. Kitab-kitab Samawi memiliki kecocokan
kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya, bedanya terletak pada ringkas dan
rincinya. Namun sahabat menjaga diri mengenai hal itu. Mereka tidak menanyakan
kepada Ahli Kitab kecuali mengenai penjelasan yang mubham dan mujmal, yang
dikemukakan oleh Rasulullah SAW. Mereke juga tidak menyibukkan diri bertanya
mengenai hal-hal remeh yang lebih mirip dengan bermain-main, misalnya
pertanyaan tentang warna anjing Ashhabul Kahfi, jenis semut yang diajak bicara
oleh Nabi Sulaiman, bocah yang dibunuh oleh Khidir dan lain-lain. Mereka terlalu tinggi dan mulia menanyakan hal-hal
seperti itu, sehingga mereka tidak melanggar metode yang diperintahkan dan
digariskan olah Rasul SAW melalui hadits beliau: “Sampaikan dariku walau satu
ayat. Ceritakanlah dari Bani Isra’il dan tidak mengapa. Siapa yang mendustakan
secara sengaja, maka hendaklah ia bersiap-siap menempatkan diri di neraka.”
(HR. Bukhari). Juga sabda beliau: “Jangan benarkan dan jangan dustakan Ahli
Kitab. Katakan kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada
Ibrahim, Isma’il, Ishaq dan Ya’qub. (QS. Al-BAqarah: 136).” (HR. Bukhari).[3]
Bila hadits pertama membolehkan meriwayatkan dari Bani Isra’il dan
yang kedua menganjurkan menahan diri, maka pada hakekatnya tidak ada perbedaan
di antara keduanya. Sebab yang pertama berkaitan dengan apa yang diketahui
benarnya dan yang mengandung pelajaran dan nasehat. Sedang hadits kedua berkenaan dengan apa yang tidak diketahui secara pasti
kebenarannya—misalnya karena tidak ada penjelasan dari syari’at kita—dan tidak
diketahui secara pasti kedustaannya—misalnya karena tidak ada penjelasan
syari’at kita yang berlawanan dengannya, maka kita harus menahan diri (tawaqquf)
dari membenarkan maupun mendustakan mereka. Hal itu tidak lain karena riwayat
seperti itu mungkin benar, mungkin juga salah.[4]
Al-Hafidh ibn Katsir mengatakan bahwa sebagian besar tafsir bil
ma’tsur telah masuk ke para periwayat melalui orang-orang zindik dari Kaum
Yahudi, Persi dan Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Sebagian ulama berkata,
umumnya hal itu berkenaan dengan kisah-kisah para rasul beserta kerabat mereka,
hal-hal berkenaan dengan kitab-kitab dan kemukjizatan mereka, sejarah selain
mereka, seperti Ashabul Kahfi, kota Irama Dzat al-Imad, sihir Babil, masalah-masalah
ghaib, seperti tanda dan datangnya kiamat, apa yang terjadi saat itu dan
sesudahnya .[5]
Seperti keterangan-keterangan di atas, pada masa tabi’inlah
beredarnya kisah-kisah Israiliyyat, sehingga tidak jarang Israiliyyat mewarnai
kitab-kitab tafsir pada masa itu. Terlebih lagi Tafsir bil Ma’tsur, karena
banyak dari para mufasir meriwayatkan berita-berita yang sebagian bersumber
dari para Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Juga para mufasir menerimanya
begitu saja, tidak memilah mana yang benar dan mana yang salah.
Kemudian di samping itu, terdapat pula segolongan mufasir
mutaakhirin yang mendasarkan tafsirnya kepada atsar, dengan mengikhtisarkan
pula sanad, tidak menyandarkan riwayat kepada perawinya. Karena itu,
bercampurlah kisah yang benar dengan yang palsu dan penuhlah tafsir dengan
kisah-kisah dan israiliyyat. Di dalam tafsir-tafsir yang demikian itu
diterangkan kisah nabi-nabi sebagai yang didapati di dalam Israiliyyat,
demikian pula keadaan kejadian alam dan so’al Ya’juj dan Ma’juj. Di antara
tafsir yang sedemikian keadaannya, ialah tafsir Al-Khazin.[6]
Contoh Kitab
Tafsir yang Memuat Kitab Israiliyyat
Jamiiul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
Tafsir ini disusun oleh Ibnu Jarir Al-Thabariy (224-310), seorang yang
dikenal faqih, mufassir, dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Disebut-sebut
sebagai Tafsir yang paling unggul dalam tafsir bil-Ma’tsur. Paling shahih dan
terkumpul di dalamnya pernyataan para sahabat dan tabi’in. Tafsir ini dianggap
sebagai referensi utama para mufassir. Bahkan sampai Imam An-Nawawi berkata,
“Kitab Ibnu jarir dalam tafsir tidak ada duanya.”
Bagi sebagian kalangan, dalam tafsir ini terdapat beberapa riwayat
Israiliyyat dan ini dianggap kesalahan. Riwayat itu banyak berasal dari Ka’ab
Al-Ahbar, Wahhab bin Munabbih, Ibnu Juraij, As-Sudi dan lain-lain.
Salah satu contoh beliau menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 94:
“Mereka berkata: Hai Zulkarnain, ya’juj dan ma’juj itu perusak di
muka bumi.”
Ibnu Jarir Al-Thabariy menyebutkan riwayat dengan isnad yang
menyatakan: “Telah menceritakan kepada kami Humaid”; ia berkata:”telah
menceritakan kepada kami salamah” ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ishaq, yang berkata, “Telah menceritakan kepada kami salah seorang
ahli kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan kisah-kisah asing:“dari
warisan-warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Zulkarnain termasuk
salah seorang penduduk Mesir. Nama lengkapnya Mirzaban bin Murdhiyah, bangsa
Yunani keturunan Yunan bin Yafits bin Nuh dan seterusnya.”
Oleh para muhaqqiq seharusnya Ibnu jarir tidak menukil
riwayat-riwayat yang belum jelas kesahihannya berkenaan dengan Israiliyyat.
Namun, bagaimanapun juga beliau selalu menulis lengkap sanad-sanad riwayat yang
dinukilnya.
Tafsir
Muqatil
Disusun oleh Muqatil bin Sulaiman wafat tahun 150 H. Dikenal
sebagai ahli tafsir. Beliau banyak mengambil hadis dari Mujahid, Atha bin
Rabah. Dhahak, dan Atiyyah.
Tafsir karya Muqatil terkenal sebagai tafsir yang satrat dengan
cerita-cerita Israiliyyat tanpa memberi sanad sama sekali. Disamping itu tidak
ditemukan komentar penelitian dan penjelasannya, mana yang hak dan yang batil.
Contoh yang diceritakan dalam tafsir ini hampir merupakan bagian dari khurafat.
Tafsir Al-Quranul Adzim
Kitab tafsir buah karya Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin
Amr bin Katsir (700-774 H) ini adalah kitab yang paling masyhur dalam
bidangnya. Kedudukannya berada pada posisi kedua setelah Tafsir Ibnu Jarir
At-Thabari. Nama aslinya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Tafsir yang diterima
di khalayak ramai umat Islam.
Beliau menempuh metode tafsir bil ma’tsur dan
benar-benar berpegang padanya. Ini diungkapkan sendiri oleh beliau dalam
muqaddimah tafsirnya,: “Bila ada yang bertanya, apa metode penafsiran yang
terbaik? Jawabannya, metode terbaik ialah dengan menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an. Sesuatu yang global di sebuah ayat diperjelas di ayat lain. Bila
engkau tidak menemukan penafsiran ayat itu, carilah di As-Sunnah karena ia
berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I menegaskan bahwa semua
yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, itulah hasil pemahaman beliau terhadap
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab
dengan kebenaran, agar engkau memutuskan perkara di antara manusia dengan apa
yang Allah ajarkan kepadamu.” (QS. An-Nisa’ 105) dan Rasul saw bersabda:
sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan bersamanya yang semisal (As-sunnah).
Murid Imam Ibnu Taimiyah ini menafsirkan dengan
menyertakan ilmu al-Jarh wa at-ta’dil. Hadis-hadis mungkar dan dlo’if beliau
tolak. Terlebih dahulu beliau menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan bahasa
yang mudah dipahami dan ringkas. Kemudian disertakan pula ayat-ayat lainnya
sebagai syahidnya.
Beberapa ulama setelah beliau telah mengambil inisiatif menulisnya dalam bentuk mukhtasar (ringkasan). Bahkan
hingga saat ini.
Di dalam tafsir ini juga menurut DR. Al-Zhahabi, tafsir
ini populer dengan Israiliyyat dan disertai penjelasan dan komentar, hanya
sedikit saja yang tidak dikomentari. Berbeda dengan Ibnu jarir, Ibnu Katsir
selalu mengingatkan para pembaca agar mewaspadai keganjilan dan kemungkaran
kisah-kisah Israiliyyat dalam tafsir bil-Ma’tsur.
Contoh saat menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 6:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyembelih
sapi betina...”
Dalam tafsirnya, Ibnu katsir menceritakannya panjang
lebar sampai hal aneh dengan menceritakan bahwa mereka mencari sapi betina
khusus dan berada pada seorang Bani Israil yang paling berbakti..” setelah
menceritakan hal tersebut beserta asal-usul riwayatnya, ia menjelaskan bahwa
semua itu berasal dari kitab-kitab bani Israil yang boleh diriwayatkan tapi
tidak boleh dibenarkan atau didustakan.http://nuaimy.org/index.php?option=com_content&view=article&id=177:dampak-israiliyyat-dalam-penafsiran-al-quran&catid=30:tafsir-dan-hadits
Israiliyat
dalam Kitab Hadits
Pernyataan Ahli Kitab
menyusup di kalangan ulama hadits melalui para pemalsu hadits dan para
pendusta, yang hendak menyebarkan apa yang ada pada mereka dengan menisbatkan
kepada Rasulullah SAW. Karena itu kita sering menjumpai hadits palsu yang
berisi kisah-kisah Yahudi maupun Nashrani, ataupun pernyataan-pernyataan yang
ada di dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang tidak layak
dikatakan sebagai sabda Nabi SAW. Kadang-kadang ada di antaranya yang menyusup
melalui Ahlul Kitab yang telah masuk Islam. Mulanya, mereka memandang kaum
muslimin berdasarkan kitab-kitab mereka, bahkan mereka menjelaskan kitab-kitab
mereka itu kepada kaum muslimin. Hal itulah yang kemudian banyak masuk melalui
para periwayat yang lengah atau para pemalsu hadits ke dalam hadits-hadits Nabi
SAW. Ada yang menjelaskan bahwa anak nabi Ibrahim yang disembelih adalah Ishaq
bukan Isma’il. Ada juga yang menjelaskan bahwa dunia ini terbatas umurnya, dan
dapat diketahui batasnya, yaitu tujuh
ribu tahun. Keduanya jelas merupakan kisah versi ahli kitab.[7]
Contoh Israiliyat dalam Hadits
Para periwayat, dengan sanad-sanad mereka yang muttashil,
meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi SAW, para sahabat dan para tabi’in
berkenaan dengan unsur peradaban baru yang berasal dari Ahlul Kitab, melalui
mereka yang kemudian masuk Islam, seperti Ka’ab Ibn Mati’ al-Humairy, Wahb ibn
Munabbih, dan lain-lain. Dan mereka
inilah yang banyak meriwayatkan kisah sepeerti itu (Israilliyat). Karena
itu, tidak aneh, bila suatu saat terjadi kekaburan pada diri periwayat. Bisa
jadi, ia meriwayatkan hadits yang sebenarnya marfu’ (sampai kepada Nabi SAW)
tetapi disandarkan kepada ka’ab atau sebaliknya, hadits yang sebenarnya hanya
sampai kepada ka’ab, dikatakan berasal dari Nabi SAW.[8]
Banyak riwayat, yang periwayatnya mengalami kekeliruan seperti itu.
Di antara riwayat seperti itu, ada yang
bisa kita temukan di dalam kitab-kitab Sunan, ada pula yang di lainnya. Pertama,
pada Kitab Sunnan Abu Daud, Imam Abi Daud meriwayatkan sebuah hadits, dari
Muhammad ibn Isa, dari Hammad, dari Maimun ibn Jabban, dari Abi Rafi’, dari Abu
Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Belalang termasuk binatang laut.” Di
samping itu Abu Daud dan at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu
al-Hazim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya (belalang)
itu termasuk binatang laut.” Abu Daud mengomentari kedua hadits itu: “Abu
al-Hazm adalah periwayat dhai’f. Kedua hadits itu lemah. Ada lagi hadits yang
semakna, yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Khatib, dari Anas dan Jabir
sekaligus, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya belalang adalah ingus
ikan laut.” “Ibn Hajar berkata: “Sanad hadits itu lemah”. As-Suyuthi di dalam Jami’
al-Shigar juga menyinggung ke-dha’if-an hadits itu. Bahkan Ibn al-Jauziy
memasukannya di dalam kitabnya, al-Maudhu’at.[9]
Kemungkinan, yang benar adalah informasi mengenai belalang
merupakan ingus ikan laut atau termasuk binatang laut, sama sekali tidak benar
berasal dari Nabi, Hadits itu sebenarnya bersember dari Abu Hurairah, dari Ka’b
al-Akhbar. Tetapi ada periwayat yang melakukan kesalahan, sehingga ia
menjadikan hadits itu berasal dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Hal ini tidak
mustahil terjadi pada diri periwayat
yang memang meriwayatkan banyak hadits dari barbagai sumber. Karena
begitu seringnya ia merangkai sanad: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW….”, maka
ketika ia mendengar perkataan “dari Abu Hurairah….”, spontan ingatannya akan
tertuju pada perkataan “dari Nabi SAW…”, tanpa menyadarinya, bahwa yang betul
adalah dari Abu Hurairah dari Ka’ab.[10]
Kenyataannya, Abu Daud telah meriwayatkan hadits itu dengan sanad
yang benar, berasal dari Musa ibn Isma’il, dari Hammad, dari Maimun Ibn Habban,
dari Abi Rafi’, dari Ka’ab, ia berkata: “Belalang termasuk binatang laut.” Kita
lihat bahwa sanad itu berasal dari Hammad, dari Maimun ibn Jabban. Dari Abi
Rafi’, pada satu sanad, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, dan pada sanad lain,
dari Ka’b. Karena sanad itu, pada tiga periwayat berturut-turut sama, maka kita
tidak bisa membenarkan penisbatan kedua riwayat itu. Yang benar, hanya
penisbatan kepada salah satu saja, kepada Rasul, atau kepada ka’ab al-Akhbar.
Abu daud cenderung memilih yang kedua, karena ia menilai yang pertama sebagai
riwayat dla’if. Untuk menentukan, siapa sebenarnya periwayat yang
melakukan kekeliruan, al-Dzahabi menilai bahwa Maimun Ibn Jabanlah orangnya.[11]
[1] Hasbi
Ash-Shidiqiy, 1980, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir,
Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VIII, hal.236.
[2] Abu Anwar,2005,
Ulumul Qur’an sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah, Cet. II, hal. 114-115.
[3]
Qadirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, 2007, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para
Mufasir (Yunus Hasan Abidu, 1428, Dirasaat wa Mahabits fi Tarikh Al-Tafsir wa Manahij
Al-Mufassirin, Beirut, Libanon: Daar al-Fikr), Tangerang: Gaya Media
Pratama, Cet. 1, hal. 61-62.
[4]
Qadirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, Op. Cit, hal. 62.
[6]
Hasbi
Ash-Shidiqiy, Op. Cit., hal. 244.
[7] M. Qadirun
Nur, 2004, Kritik Metodologi Matan Hadits (Salahudin Ibn Ahmad
al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi),
Tangerang: Gaya Media Pratama, cet. I, hal.44.
[9]
M. Qadirun Nur,
Op. Cit., hal. 96-70.
[13] Ibid,
hal. 70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar